Terhadap RUU TNI, Hanya Ada Satu Kata: Lawan!
Di lobi hotel itu, lampu kristal menggantung rendah, memantulkan bayangan berkilauan di lantai marmer mengilap. Udara dingin dari pendingin ruangan bercampur dengan aroma kopi mahal yang mengepul di meja-meja kecil. Para tamu bisnis berbincang santai, membolak-balik dokumen, atau sekadar menunggu pertemuan dimulai.
Tapi pagi itu, ada yang berbeda.
Sekelompok anak muda berjalan cepat melewati karpet merah. Tatapan mereka lurus, langkah mereka tegap. Bukan tamu hotel, bukan pula pejabat yang hendak menikmati sarapan prasmanan. Mereka aktivis. Di tangan mereka, selebaran terlipat rapi. Isinya lugas: "Tolak Kembalinya Dwifungsi TNI!" Huruf kapital hitam di atas kertas putih, menuntut perhatian.
Di depan pintu ruang rapat, mereka berhenti. Tarikan napas dalam, sekilas tatapan satu sama lain, lalu dorongan kuat pada pintu. Waktu seolah membeku.
Di dalam, orang-orang berseragam dan mereka yang berdasi menoleh. Ada yang kaget, ada yang berpura-pura tetap sibuk membaca dokumen tebal.
"Kalian tidak bisa membahas masa depan bangsa di tempat semewah ini!" suara seorang anak muda bergetar oleh emosi.
Di tangannya, selebaran itu gemetar. Seseorang dari dalam rapat berdiri, melangkah maju. Wajahnya datar, bibirnya menyunggingkan senyum kecil. Tapi tak ada yang berani langsung menjawab.
***
Sebelum reformasi, tentara bukan hanya di barak. Mereka ada di mana-mana.
Di kampus, mahasiswa harus berhati-hati berbicara. Setiap senat mahasiswa memiliki satu kursi yang tak pernah benar-benar kosong. Seseorang selalu duduk di sana—mencatat nama-nama yang terlalu kritis, yang terlalu sering menyebut "demokrasi" dengan nada menantang.
Di desa-desa, kepala desa bukan hanya pemimpin administratif, melainkan perpanjangan tangan komando militer. Setiap rapat warga diawasi. Setiap diskusi kecil bisa berujung interogasi. Bahkan untuk menggelar pentas seni pun orang harus berhitung—ada lagu yang tak boleh dinyanyikan, ada naskah yang tak boleh dipentaskan.
Semua dalam kendali. Semua dalam pengawasan.
Ketika reformasi datang, banyak yang berpikir itu sudah berakhir. Tentara kembali ke barak. Dwifungsi TNI dihapuskan. Urusan sipil kembali ke tangan rakyat.
Tapi sejarah sering berjalan melingkar.
***
RUU TNI yang dibahas di hotel mewah itu bukan sekadar soal pasal-pasal. Ia adalah pintu. Jika terbuka, kita bisa kembali ke masa lalu yang telah kita tinggalkan dengan susah payah.
Tapi musuh reformasi bukan hanya mereka yang berseragam. Ada yang tak berbaju loreng, tapi pikirannya sama seperti tentara.
Mereka adalah birokrat yang nyaman dalam sistem komando. Politisi yang tak bisa bekerja tanpa instruksi dari atas. Akademisi yang lebih suka berbicara tentang stabilitas daripada kebebasan. Mereka tak pernah memakai sepatu lars, tak pernah berdiri di barisan apel pagi, tapi mereka percaya bahwa negara harus diatur dengan disiplin, dengan ketegasan, dengan satu suara.
Mereka adalah sipil yang berjiwa tentara. Dan mereka adalah musuh yang lebih sulit dilawan.
***
Dwifungsi TNI bukan sekadar menempatkan tentara dalam jabatan sipil. Ini adalah ancaman nyata bagi demokrasi.
Di negara demokratis, pemerintahan harus dikendalikan oleh otoritas sipil yang dipilih rakyat. Ketika tentara masuk ke ranah sipil, keseimbangan itu runtuh. Loyalitas mereka terbelah—antara tunduk pada konstitusi atau pada komando internal mereka.
Sejarah mencatat, setiap kali tentara berada di pemerintahan, suara rakyat mengecil. Selama Orde Baru, dwifungsi TNI adalah alat untuk menekan oposisi, membungkam pers, membatasi kebebasan akademik. Diskusi buku bisa berujung interogasi. Pentas seni harus diawasi.
Kembalinya dwifungsi juga berarti kembalinya jaringan kekuasaan yang berkelindan dengan bisnis dan politik. Kita tahu, ketika tentara menguasai ekonomi, transparansi menghilang. Ketika mereka memegang kementerian, kebijakan diambil bukan berdasarkan debat publik, tapi atas dasar komando.
Yang lebih berbahaya, dwifungsi membuat militer berada di atas hukum. Dengan status mereka yang semi-sipil, mereka bisa memiliki kekuasaan tanpa kontrol. Tidak ada mekanisme demokrasi yang bisa menjangkau mereka.
Itulah sebabnya reformasi menegaskan: tentara harus kembali ke barak. Itulah sebabnya supremasi sipil harus ditegakkan. Itulah sebabnya, aktivis-aktivis muda itu berdiri di hotel mewah ini, berteriak lantang menolak.
***
Di dalam ruangan itu, suara demonstrasi semakin nyaring. "Tolak RUU TNI! Tolak Dwifungsi!"
Seorang politisi dengan jas rapi menyandarkan tubuhnya ke kursi, mendesah panjang. "Mereka tidak mengerti," katanya, pelan. Tapi mungkin, justru mereka yang ada di dalam ruangan itulah yang tak mengerti.
Sementara itu, di luar, seorang mahasiswa berdiri di atas pagar, mengangkat selebaran yang mulai lecek oleh keringat. Ia menarik napas dalam, lalu berteriak lantang, mengutip bait dari Widji Thukul, penyair yang pernah hilang dalam kabut represi:
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!