Tirai Silikon. Tsunami Informasi, dan Bayang-Bayang AI


Seekor merpati putih bertengger di sampul buku Nexus, karya terbaru sejarawan dan pemikir publik Yuval Noah Harari. Burung itu, simbol kedamaian dan kebebasan, tampak kontras dengan judul yang menyerupai jaringan kompleks yang menghubungkan peradaban manusia. 

Dalam Nexus, Harari menelusuri sejarah panjang informasi—dari tablet tanah liat Assyria hingga algoritma media sosial yang kini mengendalikan hidup manusia. Namun, di balik kepiawaiannya bercerita, buku ini juga menyimpan kegelisahan: apakah kita sedang menuju zaman keemasan atau justru ke jurang kehancuran akibat kecerdasan buatan?

Dua dekade lalu, Harari dikenal sebagai akademisi yang menulis sejarah panjang Homo sapiens dalam Sapiens, lalu mengajak pembaca memahami tantangan abad ke-21 dalam 21 Lessons for the 21st Century. Kini, dengan Nexus, ia beralih menjadi seorang penjaga gerbang yang memperingatkan bahaya AI yang mengancam peradaban.

Buku ini terbagi menjadi dua bagian. Di paruh pertama, Harari melompat-lompat dalam sejarah, menghubungkan wabah kolera di abad ke-19 dengan propaganda Nazi dan kejatuhan Uni Soviet. Seperti biasa, ia lihai merangkai narasi historis yang memikat. Namun, beberapa kritik menyebut bagian ini terlalu padat, seperti percakapan dengan seseorang yang begitu bersemangat hingga sulit diikuti.

Bagian kedua menjadi inti peringatan Harari: AI bukan sekadar mesin cerdas, melainkan ancaman eksistensial yang mengubah cara manusia berpikir dan berinteraksi. Bukan robot Terminator yang perlu kita takutkan, melainkan algoritma yang membentuk opini, memonopoli perhatian, dan mempersempit ruang diskusi. 

“Algoritma dirancang bukan untuk mencari kebenaran, tetapi untuk mempertahankan keterlibatan kita,” tulisnya.

Tirai Silikon dan Kediktatoran Digital

Salah satu gagasan paling menggugah dalam Nexus adalah konsep “Tirai Silikon” (Silicon Curtain). Harari membandingkannya dengan Tirai Besi di era Perang Dingin, tetapi kali ini bukan sekadar blok ideologi yang berseberangan, melainkan jaringan AI yang dikendalikan oleh dua kekuatan besar: Amerika Serikat dan China.

Harari memperingatkan, jika sistem komputer mereka tidak lagi kompatibel dan masing-masing menciptakan realitasnya sendiri, dunia bisa terpecah lebih dalam daripada sebelumnya. Sebuah perang dingin berbasis informasi yang tak hanya melibatkan negara, tetapi juga individu yang terperangkap dalam bias algoritma. 

Sebagai contoh, ia menyoroti invasi Rusia ke Ukraina, yang menurutnya dimungkinkan karena perbedaan narasi sejarah yang dibentuk oleh propaganda digital.

Lebih jauh, Harari mengangkat ancaman yang lebih besar: kediktatoran digital. Menurutnya, jika algoritma semakin berkuasa dalam mengatur kehidupan manusia—dari rekomendasi berita hingga keputusan politik—maka kebebasan berpikir bisa terkikis tanpa disadari. “Di masa lalu, diktator ingin mengontrol buku dan surat kabar. Kini, mereka bisa langsung mengontrol pikiran kita melalui algoritma,” tulisnya.

Harari menyebut sistem ini sebagai “kediktatoran digital” (digital dictatorship), di mana kekuatan besar—baik pemerintah maupun korporasi teknologi—memiliki akses tak terbatas terhadap data pribadi miliaran orang. Ini bukan lagi sekadar pengawasan, tetapi bentuk kendali yang memungkinkan penguasa mengarahkan opini publik, bahkan sebelum masyarakat menyadari bahwa mereka sedang dikendalikan.

Melawan Tsunami Informasi

Namun, Harari tidak sekadar menyebarkan alarm bahaya. Ia juga menawarkan solusi agar manusia tidak tenggelam dalam tsunami informasi yang diciptakan AI. Regulasi yang ketat terhadap industri teknologi, menurutnya, menjadi kunci utama. 

Tanpa regulasi yang jelas, AI bisa semakin memperdalam polarisasi masyarakat dan memanipulasi opini publik. Harari juga menekankan pentingnya literasi digital, agar masyarakat lebih sadar akan cara kerja algoritma dan tidak mudah terjebak dalam narasi yang sudah dikendalikan oleh kepentingan tertentu.

Di sisi lain, Harari percaya bahwa institusi yang memiliki mekanisme koreksi diri bisa menjadi benteng terakhir melawan dominasi AI. Ia mencontohkan bagaimana spam email, yang dulu mengganggu produktivitas, akhirnya bisa ditekan berkat perubahan algoritma yang lebih bertanggung jawab. Jika raksasa teknologi mau berinvestasi pada pengembangan sistem yang lebih sehat, ancaman AI bisa dikelola, bukan dibiarkan liar tanpa kendali.

Meski menawarkan banyak wawasan, Nexus bukan tanpa kritik. Sebagian pembaca menilai Harari terlalu percaya pada kemampuan AI. Ia menyebut chatbot bisa menciptakan ide-ide baru, padahal sejauh ini AI hanya mampu mereplikasi pola dari data yang ada. Narasi yang ia bangun juga sering kali terdengar apokaliptik—seperti seorang nabi yang memperingatkan kehancuran tanpa memberi solusi konkret.

Namun, justru di situlah letak daya tarik Nexus. Ia bukan sekadar buku tentang AI, tetapi sebuah refleksi tentang bagaimana manusia harus beradaptasi di era teknologi yang semakin mendominasi. 

Seperti merpati di sampul bukunya, Harari tampaknya ingin menyampaikan bahwa masih ada harapan. Asalkan manusia tetap menjadi pengendali, bukan sekadar pion dalam permainan algoritma.