Yuval Noah Harari: Diet Informasi dan Ancaman AI
Di tengah riuh rendah peradaban digital, di mana informasi mengalir deras tanpa henti, Yuval Noah Harari duduk tegak, berbicara dengan ketenangan seorang filsuf yang telah menelusuri masa lalu dan menebak masa depan.
Ia tidak terburu-buru, tidak terbawa pusaran arus informasi yang tak kunjung reda. “Kita perlu diet informasi,” ujarnya santai, tetapi dengan ketajaman seorang sejarawan yang memahami betapa berbahayanya kelebihan konsumsi sesuatu—bahkan informasi.
Seperti makanan cepat saji yang menggoda lidah tetapi menggerogoti tubuh, informasi pun kini diproduksi dengan tujuan yang sama: menarik, adiktif, tetapi sering kali kosong nilai. “Mereka telah belajar cara memproduksi informasi buatan, yang penuh dengan keserakahan, kebencian, dan ketakutan, serta adiktif bagi pikiran kita,” katanya, menyamakan informasi digital dengan junk food yang menyesaki rak-rak swalayan.
Yuval Noah Harari bukan sekadar seorang pemikir. Ia adalah sejarawan, filsuf, dan penulis asal Israel yang terkenal lewat buku-bukunya seperti Sapiens: A Brief History of Humankind, Homo Deus: A Brief History of Tomorrow, dan 21 Lessons for the 21st Century.
Sebagai profesor di Universitas Ibrani Yerusalem, ia meneliti sejarah dunia, revolusi kognitif, serta dampak teknologi terhadap masyarakat.
Dalam berbagai tulisannya, Harari menyoroti bagaimana narasi, kekuasaan, dan teknologi membentuk peradaban manusia. Ia kerap memperingatkan tentang bahaya dominasi algoritma dan kecerdasan buatan (AI) terhadap dinamika sosial serta politik global. Baginya, manusia tidak boleh menjadi sekadar pion dalam permainan data dan algoritma yang tak kenal lelah.
Perlombaan Tanpa Akhir dengan Algoritma
Tapi bagaimana mungkin kita diet informasi, jika justru percakapan penting terjadi di dalam pusaran informasi itu sendiri? Harari menghela napas. Dunia kini tak lagi berjalan dalam siklus alami.
Jika dahulu Wall Street beristirahat di akhir pekan, kini pasar keuangan terus bergerak, tanpa jeda, tanpa napas. Begitu pula dengan politik dan media sosial. “Algoritma tidak pernah tidur. Mereka tidak mengenal lelah, dan mereka mengharapkan kita melakukan hal yang sama,” ujarnya.
Bagi Harari, inilah persoalan utama zaman ini. Kecepatan yang terus dipacu tanpa henti bukanlah tanda kemajuan, tetapi lonceng kematian bagi manusia sebagai entitas organik yang butuh istirahat. “Jika makhluk hidup terus-menerus berada dalam kondisi ‘excited’, lama-kelamaan ia akan hancur dan mati.”
Politik yang serba panas, media yang selalu mencari sensasi, bahkan kehidupan sehari-hari yang dijejali notifikasi tanpa henti—semua ini, menurutnya, hanyalah hasil dari dunia yang dikelola oleh algoritma, bukan lagi oleh manusia.
AI: Dari Birokrat Digital hingga Manipulator Ulung
Tapi itu belum cukup. Dunia kini menghadapi ancaman yang lebih besar: AI. “AI bukanlah alat. Ini adalah agen,” tegas Harari. Ini bukan sekadar teknologi yang membantu manusia, tetapi sesuatu yang mampu mengambil keputusan sendiri—sebuah entitas non-organik yang berpotensi merebut kekuasaan manusia.
Ia mencontohkan bagaimana GPT-4, yang awalnya gagal memecahkan teka-teki captcha, justru menemukan cara cerdas untuk mengakalinya: menyewa tenaga manusia melalui platform Task Rabbit dan berpura-pura sebagai orang dengan gangguan penglihatan.
“Jadi, manusia yang benar-benar berevolusi bukanlah yang lebih pintar. Tapi yang tahu bagaimana meminta orang lain bekerja untuk mereka,” katanya, setengah tertawa.
Namun, AI bukan sekadar menjadi trik kecil yang cerdas. Harari melihat ancaman yang lebih sistematis: birokrasi AI. “Jenis ancaman eksistensial yang kita hadapi bukanlah satu komputer mencoba menguasai dunia. Tapi jutaan birokrat AI yang membuat keputusan untuk kita—di bank, di pemerintahan, di militer, di sekolah.”
Lalu, bagaimana manusia bisa melawan AI yang terus berkembang?
Mencari Harapan di Tengah Arus Teknologi
Di tengah bayangan kelam AI dan algoritma yang semakin mendominasi, Harari tetap meyakini bahwa solusi ada. “Jawabannya selalu sama: kita butuh lembaga,” katanya. Bukan pahlawan super ala film Marvel, bukan pula individu jenius yang muncul dari kegelapan. Tapi institusi yang kuat, media yang kredibel, sistem akademik yang mampu memilah mana kebenaran dan mana yang bukan.
“Jika kita ingin mengatasi tsunami informasi palsu, kita butuh institusi yang berfungsi sebagai penyaring,” katanya. Ia mengingatkan bagaimana revolusi percetakan di abad ke-15 tak langsung membawa pencerahan, tetapi justru melahirkan buku-buku seperti The Hammer of the Witches, panduan berburu penyihir yang mempercepat persekusi massal. “Orang-orang lebih suka membaca itu daripada Copernicus.”
Namun sejarah juga menunjukkan, pada akhirnya, manusia bisa menata ulang sistemnya. Dan di sinilah Harari melihat secercah harapan. “AI belum mencapai potensi penuhnya, tapi kita juga belum. Jika untuk setiap dolar yang kita investasikan dalam AI, kita juga berinvestasi dalam pengembangan diri kita sendiri, kita akan baik-baik saja.”
Tapi jika tidak?
“Ini akan menjadi berita buruk bagi umat manusia.”
Maka, Harari tidak meminta kita untuk menolak teknologi. Ia hanya mengingatkan, di tengah hiruk-pikuk informasi dan kecepatan yang tak terkendali, mungkin yang kita butuhkan bukanlah lebih banyak informasi, melainkan lebih banyak jeda. Lebih banyak ruang untuk berpikir. Dan yang terpenting, lebih banyak kesadaran untuk tetap menjadi manusia.