Jejak Prof. Halide: Ekonomi Syariah dari Timur
Sebuah kematian tak pernah datang dengan ucapan salam. Ia hanya meninggalkan jeda, antara kenangan dan kekosongan yang tiba-tiba menyeruak. Seperti itu jugalah yang terjadi di penghujung bulan Ramadhan.
Saat orang-orang sibuk menjemput kemuliaan, kabar duka itu mengalir, bagai rembesan air di tanah basah. Prof. Dr. H. Halide telah pergi. Ekonom senior itu telah berpulang, Sabtu (29/3/2025). Duka tidak hanya melingkupi insan kampus Unhas, tapi seluruh masyarakat yang mengenalnya.
Halide bukan sekadar ekonom. Bukan sekadar Guru Besar. Ia muballiq. Dan keduanya tak pernah ia pisahkan. Lahir pada 29 September 1936, Halide meniti hidupnya bukan untuk sekadar menimbun pemikiran di menara gading akademik.
Suaranya lembut, mengalir dari Masjid Raya, kadang memecah sunyi dari corong Radio Republik Indonesia (RRI) Nusantara IV. Orang-orang menghafal suaranya yang khas, bukan hanya kata-katanya. Karena kata-kata itu memikul beban yang lebih dari sekadar teori; ia menyusup, menggenapi hati yang merindukan kesejukan.
Sebagai Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin, Halide dikenal bukan hanya karena pemikirannya, tetapi juga komitmennya memperjuangkan ekonomi syariah di Indonesia. Sebuah dunia yang masih dianggap sebagai kawasan asing ketika ia memulainya. Tapi Halide tak gentar.
Tahun 2012, ia menerima penghargaan dari Majalah Investor Jakarta. Penghargaan itu diberikan karena dedikasinya mengembangkan ekonomi syariah di Indonesia, jauh sebelum konsep itu menjadi arus utama. Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) pun memberinya penghargaan atas nama akademisi dari Indonesia bagian timur.
"Penghargaan ini mungkin karena saya dianggap getol memperjuangkan ekonomi syariah di Indonesia," ucap Halide dalam sebuah wawancara dengan Antara. Penghargaan itu bukanlah yang pertama. Dua tahun sebelumnya, pada 2010, MES telah memberinya penghargaan serupa. Barangkali, ia merasa semua itu hanya formalitas.Tapi setiap formalitas memiliki akar yang lebih dalam.
Perjuangan Halide menggaungkan ekonomi syariah bukanlah perjalanan yang lurus. Tahun 1980, ia menghadiri pertemuan internasional di Islamabad, Pakistan. Tahun 1996, ia terbang ke Makkah, berbicara dalam satu forum dengan tokoh-tokoh besar seperti Bakir Hasan dan Ismail Suni. Tapi bukan soal pertemuan-pertemuan itu yang utama.
Gagasan-gagasannya yang berbicara: tentang ekonomi yang adil dan berkelanjutan, tentang sebuah dunia yang lebih berpihak pada kemanusiaan.
Tokoh ekonomi syariah terkemuka, Prof. Dr. Muhammad Syafii Antonio, pernah menyatakan bahwa ulama dan akademisi memiliki peran strategis dalam pengembangan ekonomi syariah.
“Ulama memiliki peran strategis dalam mengembangkan ekonomi syariah melalui sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat, serta pengawalan terhadap operasional lembaga-lembaga ekonomi syariah agar tetap sesuai dengan prinsip-prinsip syariah,” ujarnya.
Kutipan ini seakan merangkum apa yang telah dilakukan Halide selama hidupnya.
Dalam skala yang lebih luas, Sheikh Taqi Usmani, seorang ulama dan ekonom terkemuka, juga menekankan pentingnya integrasi antara ilmu pengetahuan dan nilai-nilai spiritual dalam praktik ekonomi.
Baginya, ekonomi syariah bukan hanya soal transaksi bebas bunga, tetapi juga keadilan sosial dan distribusi kekayaan yang adil. Halide dengan caranya sendiri telah mencoba mengimplementasikan nilai-nilai itu dalam setiap upayanya.
Ekonom Muslim terkemuka, Umer Chapra, dalam salah satu tulisannya mengungkapkan bahwa "Etika bisnis yang dilandasi oleh agama dan moralitas sangat dibutuhkan dalam kegiatan ekonomi dan bisnis."
Kutipan itu seakan mempertegas apa yang telah dilakukan Halide sepanjang hidupnya. Ia bukan hanya mengajarkan prinsip-prinsip ekonomi syariah, tetapi juga berusaha menghidupinya dalam tindakan nyata.
Perjalanan Prof. Halide
Ia mencintai ekonomi, barangkali seperti seorang anak mencintai laut. Semua bermula di Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin. Kemudian, jalan itu membawanya ke Institut Pertanian Bogor (IPB).
Di sana ia mendalami ekonomi pertanian dan menulis disertasi yang menuntut kesabaran dan pengorbanan. Istrinya, Hajjah Maria, mengetik disertasi sepanjang 140 halaman dengan mesin ketik manual dalam waktu empat hari. Anaknya, Halmar, Marlijah, Rialid, Lidemar, dan Alimar, turut membantu. Semua berkorban. Tapi pengorbanan tak pernah merasa sia-sia.
Di Unhas, Halide bukan hanya seorang pengajar. Ia seorang mentor, sebuah jembatan yang menghubungkan teori dengan praktik. Ia menjabat berbagai posisi penting: Direktur Muda University Extension Education (1967-1968), Pembantu Rektor (1968-1969), Kepala Laboratorium Statistik (1971-1977), Koordinator Konsultan Lembaga Manajemen (1973-1977).
Di tingkat provinsi, ia menjadi Tim Ahli Kamar Dagang dan Industri daerah Sulawesi Selatan (1973-1977). Namun, ia tak pernah meninggalkan dakwah. Sejak 1979, suaranya mengudara, menyampaikan ceramah yang menyejukkan. Kadang-kadang, suaranya menggemuruh di Masjid Istiqlal saat ia menjadi khatib Salat Idul Fitri.
Di akhir hidupnya, Halide tetap teguh. Bagi orang-orang yang mengenalnya, ia bukan hanya seorang ekonom atau muballiq. Ia adalah seseorang yang mempertemukan agama dan ilmu dalam satu kesatuan.
Sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh ekonom Muslim terkemuka, Umer Chapra, bahwa etika bisnis yang dilandasi oleh agama dan moralitas sangat dibutuhkan dalam kegiatan ekonomi dan bisnis.
Halide telah membuktikan bahwa ilmu dan agama bukanlah dua kutub yang berseberangan, melainkan dua sayap yang bersama-sama menerbangkan manusia menuju kehidupan yang lebih adil dan sejahtera.