Joey Pelupessy: Kepingan yang Lama Hilang di Tim Garuda
Semalam, Ambon tak bisa tidur. Kemenangan Timnas Indonesia atas Bahrain di Kualifikasi Piala Dunia 2026 membuat kota ini bergemuruh. Dari kawasan Lapangan Merdeka hingga tepian Teluk Ambon, sorak-sorai pendukung menggema, menyatu dengan deru ombak dan angin malam.
Di antara euforia, ada satu nama yang terus disebut dengan penuh kebanggaan. "Joey Pelupessy! Joey Pelupessy!"
Namun, sorak-sorai ini bukan hanya milik warga kota. Di Nusalaut, Maluku Tengah, pulau kecil yang dikelilingi laut biru jernih dan pantai berpasir putih, nama Joey juga dibicarakan dengan penuh harapan.
Di rumah-rumah kayu beratap seng, para lelaki tua duduk di teras, bercerita tentang darah Maluku yang kini kembali berjuang di lapangan hijau. Para ibu tersenyum bangga, menyebut nama Joey kepada anak-anak mereka.
Joey bukan sekadar pesepak bola bagi mereka. Ia adalah bagian dari sejarah yang kembali berputar, cucu dari lelaki yang dulu meninggalkan tanah leluhurnya tetapi tetap membawa cerita tentang Nusalaut. Kini, Joey tidak hanya kembali dalam kisah keluarga—ia kembali dalam seragam merah putih, menjadi bagian dari tim nasional Indonesia.
Pria dari Nusalaut
Joey Mathijs Pelupessy lahir di Nijverdal, Belanda, pada 15 Mei 1993. Ia adalah keturunan Maluku yang sejak kecil tumbuh dengan cerita-cerita tentang Indonesia, yang selalu diceritakan oleh kakek dan neneknya, yang lahir di Nusalaut sebelum bermigrasi ke Belanda.
Ayahnya, yang juga lahir di Indonesia, memastikan Joey tidak melupakan akar leluhurnya. Di rumah, bahasa Belanda mungkin mendominasi percakapan sehari-hari, tetapi kisah tentang Maluku tetap mengalir, tertanam dalam benaknya.
Makanan khas Maluku masih sering tersaji di meja makan keluarga mereka, dan di komunitas Maluku di Belanda, Joey tumbuh dengan nilai-nilai disiplin dan kerja keras yang melekat pada orang-orang Maluku di perantauan.
Sejak kecil, sepak bola sudah menjadi bagian dari hidupnya. Ia memulai perjalanan sepak bolanya di akademi SVVN Niet Verdal, sebelum akhirnya bergabung dengan FC Twente pada usia 11 tahun. Dari sana, kariernya melesat. Ia bermain untuk Heracles Almelo, Sheffield Wednesday, Giresunspor, hingga FC Groningen, sebelum akhirnya kini membela klub Belgia Lommel SK.
Namun, sepanjang perjalanannya, satu hal tetap ia simpan dalam hatinya: kisah tentang Indonesia.
***
Saat peluit kick-off berbunyi di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Joey Pelupessy resmi mengenakan seragam merah putih. Ini adalah debutnya, pertandingan pertamanya untuk Timnas Indonesia. Namun, tak ada sedikit pun rasa canggung dalam permainannya.
Sejak menit pertama, ia menunjukkan kelasnya. Bersama Tom Haye, Joey menjadi jenderal di lini tengah. Ia tak hanya memutus serangan lawan dengan presisi, tetapi juga menjadi motor permainan, mendistribusikan bola dengan tenang dan cerdas.
Saat Bahrain mencoba menekan, Joey dengan sigap memotong aliran bola, menghalau serangan, dan menutup celah di lini tengah. Dalam situasi transisi, ia memainkan peran penting dalam membangun serangan, menghubungkan lini belakang dengan lini depan.
Para penonton di stadion mungkin baru mengenalnya, tetapi dalam hitungan menit, mereka tahu Indonesia akhirnya menemukan kepingan yang selama ini hilang.
Kedatangan Joey Pelupessy ke Timnas Indonesia bukan hanya menambah kekuatan di lini tengah, tetapi juga memperkuat barisan pemain keturunan Maluku di skuad Garuda. Ia tidak sendiri.
Di berbagai posisi, ada talenta berdarah Maluku lainnya yang telah lebih dulu berjuang untuk Indonesia. Eliano Reijnders Lekatompessy memperkuat lini depan, sementara Shayne Pattynama dan Kevin Diks Bakarbessy mengawal lini belakang. Di sektor sayap, ada Ragnar Oratmangoen, pemain lincah yang siap menerobos pertahanan lawan.
Mereka membentuk barisan solid pemain Maluku di Timnas Indonesia, melanjutkan jejak para legenda seperti Ronny Pattinasarany dan Simon Tahamata.
Kombinasi ini bukan hanya soal kualitas teknis, tetapi juga soal mentalitas. Pemain-pemain Maluku dikenal dengan semangat juang dan militansi di lapangan. Mereka bukan sekadar pemain bola; mereka adalah petarung yang siap bertarung habis-habisan demi lambang Garuda di dada.
Kepingan yang Lama Hilang
Selama bertahun-tahun, Timnas Indonesia mencari pemain yang bisa mengisi celah di lini tengah. Tim Garuda memiliki talenta luar biasa di berbagai posisi, tetapi gelandang bertahan dengan pengalaman tinggi di kompetisi Eropa adalah sesuatu yang sulit ditemukan.
Joey Pelupessy adalah jawaban atas pencarian itu.
Gelandang bertahan berusia 31 tahun ini bukan hanya sekadar pemain dengan teknik mumpuni. Ia adalah sosok pemimpin, seorang kapten yang telah memimpin klub-klubnya di Eropa. Pengalamannya bermain di Championship Inggris, Eredivisie Belanda, dan Liga Turki telah membentuknya menjadi pemain yang tangguh.
Ia bukan tipe gelandang flamboyan yang sering menjadi sorotan. Perannya lebih sunyi, tetapi vital. Seperti roda gigi dalam mesin, ia bekerja tanpa henti, menjaga keseimbangan tim, menghalau serangan lawan, dan membangun serangan dari lini belakang.
Dalam permainan, ia dikenal sebagai gelandang destroyer, seorang petarung di lapangan yang tak ragu untuk melakukan tekel dan duel fisik demi merebut bola. Namun, di luar itu, ia juga memiliki kemampuan distribusi bola yang akurat dan pemahaman taktik yang sangat baik.
Dalam berbagai klub yang ia bela, Joey selalu dikenal sebagai pemain yang bisa diandalkan untuk menjaga kestabilan tim. Kini, dengan statusnya sebagai pemain naturalisasi, Indonesia akhirnya memiliki gelandang bertahan berpengalaman yang selama ini mereka cari.
***
Di rumah-rumah sederhana di Nusalaut, warga masih berbincang tentangnya. Anak-anak mulai mengenal namanya, mulai bermimpi untuk menjadi seperti Joey Pelupessy.
Di Ambon, sorak-sorai masih menggema. Kemenangan Timnas malam itu bukan hanya tentang tiga poin. Bagi warga Maluku, kemenangan itu juga tentang kembalinya seorang anak ke tanah leluhurnya.
Dan bagi Joey, ini bukan hanya sekadar perjalanan sepak bola. Ini adalah perjalanan pulang. Pulang ke pelukan Garuda.