Luka di Balik Jas Putih


Ia datang dengan langkah kecil dan cemas.

Seorang perempuan muda — sederhana, barangkali tak terbiasa dengan lorong panjang rumah sakit — mengantar ayahnya yang sakit ke ruang perawatan di sebuah rumah sakit di Bandung. Malam itu, ia menjaga seorang lelaki tua yang begitu ia cintai. Tak ada yang lebih membuatnya kuat selain harapan agar sang ayah lekas sembuh.

Ia duduk di ruang tunggu. Menghabiskan malam dengan doa dalam hati. Dengan rasa lelah yang menahan kantuk. Rumah sakit baginya bukan tempat bahaya. Ia datang dengan keyakinan sederhana: di sini orang-orang menyembuhkan, bukan melukai.

Ia percaya pada jas putih. Percaya pada mereka yang dipanggil dokter — orang-orang berilmu, orang-orang terhormat.

Tapi Michel Foucault pernah mengingatkan: rumah sakit modern bukan hanya ruang penyembuhan. Ia juga ruang kekuasaan. Tempat di mana tubuh manusia diatur, diawasi, dikendalikan. Dokter — atau calon dokter — bukan sekadar penyembuh, tetapi penguasa atas tubuh pasien.

Dan di balik ketenangan ruang perawatan itu, seorang mahasiswa program dokter spesialis meracik kejahatannya. Diam-diam, di ruang yang mestinya penuh belas kasih, dokter itu menyiapkan sesuatu yang paling tak terbayangkan: obat bius.

Ketika obat bius memasuki darah perempuan itu, pelan-pelan tubuhnya kehilangan daya. Kesadarannya kabur. Dunia mengabur. Dan pada saat itulah kekuasaan paling gelap bekerja: menguasai tubuh manusia ketika pertahanannya hilang.

Malam itu bukan lagi tentang ayahnya yang sakit. Malam itu adalah malam ketika hidupnya dipecah — diam-diam — tanpa suara. Tanpa perlawanan.

Sebab pengetahuan yang dilepaskan dari etika, seperti kata Foucault, bisa berubah menjadi alat kekuasaan yang paling bengis. Kekuasaan bukan lagi sekadar merawat, tetapi mendominasi. Mengatur tubuh bukan lagi untuk menyembuhkan, tetapi untuk menguasai.

Ketika ia terbangun, ia tak menemukan dirinya utuh seperti sebelumnya. Ada sesuatu yang hilang. Bukan hanya rasa aman. Bukan hanya rasa percaya pada ruang-ruang putih itu. Tapi juga kepercayaan paling mendasar bahwa dunia ini masih memiliki batas.

Bahwa manusia — siapa pun dia — tak seharusnya diperlakukan seperti benda.

Saya teringat Marguerite Duras: “Tubuh perempuan adalah rumah bagi ingatan yang paling kelam.”

Dan kini, perempuan itu menyimpan malam itu di tubuhnya. Dalam langkah-langkahnya yang baru. Dalam cara ia menatap gelas minuman di depannya. Dalam cara ia menjaga dirinya, mungkin terlalu berlebihan.

Trauma adalah luka yang tak berdarah. Tapi menempel di ingatan seperti bayangan di dinding yang tak bisa dibersihkan.

Dan di Bandung — di sebuah rumah sakit yang mestinya merawat — seorang perempuan pulang tidak dengan tubuh yang sama. Tidak dengan hati yang sama.

Ia akan tidur dengan lampu menyala. Ia akan berjaga dalam waspada baru. Ia akan memeluk ayahnya lebih lama, bukan lagi hanya karena cinta, tapi juga karena dunia ini terlalu mudah melukai.

Dan dunia ini, seharusnya belajar malu. Sebab ilmu pengetahuan, tanpa rasa takut pada kemanusiaan, hanyalah pisau tajam di tangan yang salah.

Perempuan itu tak akan pernah benar-benar sembuh. Tidak seperti orang yang selesai berobat dan keluar dari ruang perawatan. Yang tertinggal adalah luka yang harus ia bawa seumur hidupnya. Luka akibat jas putih.