Maarten Paes: Mengenang Blijvers, Mengenang Indonesia


Maarten Paes berdiri di depan gawang. Sorak-sorai suporter menggema, bendera merah-putih berkibar di tribun. Tapi pikirannya melayang jauh, melintasi waktu dan lautan, ke seorang perempuan tua yang pernah mengajarinya memasak, yang selalu menyebut satu nama dengan lembut: Indonesia.

Neneknya, Nel Appels-van Heyst, lahir di Kediri. Di tanah yang menghidupinya, yang ia cintai, dan yang pada akhirnya mengusirnya. Sejarah tak selalu berpihak pada orang-orang seperti dia—kaum Blijvers. 

Mereka yang lahir sebagai orang Eropa di Hindia Belanda, tetapi merasa lebih Indonesia daripada Belanda. Namun, sejarah tak memberi tempat bagi mereka yang berada di antara dua dunia.

***

Ketika Indonesia merdeka, tak ada yang benar-benar tahu apa yang harus dilakukan terhadap kaum Blijvers. Mereka bukan pribumi, tetapi juga bukan penjajah dalam arti yang kaku. Mereka lahir di Hindia Belanda, berbicara dalam bahasa Melayu pasar, menjalani hidup seperti orang kebanyakan.

Tapi revolusi tak punya tempat untuk ambiguitas.

Saat perang kemerdekaan berkecamuk, banyak Blijvers menjadi korban. Rumah-rumah mereka diserbu, beberapa dibakar. Ada yang dipukuli, ada yang dibunuh. Sebagian perempuan diperkosa, sebagian lainnya menghilang tanpa jejak. Mereka disebut Belanda, meskipun sebagian dari mereka tak pernah menjejakkan kaki di negeri kincir angin.

Nel adalah salah satu yang beruntung. Ia selamat, meski harus menyaksikan ibunya meninggal dalam kamp isolasi. Setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada 1949, banyak Blijvers berharap bisa tetap tinggal. Namun, harapan itu pupus pada 1957, ketika Sukarno memerintahkan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda. Mereka yang bekerja di sana kehilangan mata pencahariannya.

Sebagian mencoba bertahan, tetapi gelombang politik terlalu besar. Mereka diusir dari rumah mereka sendiri, dipaksa menaiki kapal-kapal yang membawa mereka ke Belanda.

Di atas geladak, mereka menatap ke belakang, ke pantai yang semakin mengecil, ke negeri yang telah menjadi rumah tetapi tak lagi menerimanya.

Belanda tak seperti yang mereka bayangkan. Dingin, jauh, asing. Mereka adalah orang Belanda, tetapi dengan cara yang berbeda. Mereka berbicara bahasa yang sama, tetapi dengan aksen yang aneh. Mereka mencintai makanan yang tak bisa mereka temukan di sini—sambal, soto, nasi goreng.

Maka mereka menciptakan Indonesia kecil di Den Haag, di Rotterdam, di Amsterdam. Setiap tahun, mereka berkumpul dalam acara bernama Pasar Malam Besar. Perempuan mengenakan kebaya dan sanggul, lelaki memakai peci dan sarung. Mereka memasak rendang dan sate, mereka berbicara dalam bahasa yang mereka takut akan hilang.

Di antara mereka, ada Wieteke van Dort. Lahir di Surabaya, tetapi hidup di Den Haag. Ia menciptakan karakter Tante Lien, yang menyanyikan lagu Geef Mij Maar Nasi Goreng:

"Geef mij maar nasi goreng, met een gebakken ei." Beri aku nasi goreng, dengan telur mata sapi di atasnya.

Lagu itu bukan hanya tentang makanan. Itu tentang rumah yang tak bisa lagi mereka pulangi.

Tapi yang paling perih bukanlah kehilangan rumah, melainkan kehilangan hak untuk menyebut diri sebagai bagian dari negeri itu.

Wieteke van Dort tetap mengaku sebagai orang Surabaya. Ia berbicara dengan bangga tentang kota kelahirannya, tentang betapa ia mencintai Indonesia. Namun, hukum tak mengenal nostalgia. Ia tidak pernah bisa menjadi warga negara Indonesia. Dan di sanalah perihnya. Ia mencintai sebuah negeri yang tak bisa lagi menerimanya.

Wieteke bukan satu-satunya. Ada banyak Blijvers lain yang tetap membawa Indonesia dalam ingatan mereka. Salah satunya adalah Johan Fabricius, penulis dan jurnalis yang lahir di Bandung pada 1899.

Fabricius menghabiskan masa kecilnya di Hindia Belanda. Ia menulis De Scheepsjongens van Bontekoe, sebuah novel petualangan yang menggambarkan kehidupan pelaut Belanda di Nusantara.

Setelah terusir dari Indonesia, ia tetap menulis tentang negeri itu, seakan-akan dengan kata-kata, ia bisa kembali. Lalu ada Rob Nieuwenhuys, sejarawan dan penulis Oost-Indische Spiegel, yang membahas kehidupan kolonial di Hindia Belanda. 

Ia tak pernah menyembunyikan betapa ia merindukan masa kecilnya di Indonesia, betapa tanah itu telah menjadi bagian dari dirinya.

Ada pula Tjalie Robinson, seorang penulis dan jurnalis Indo yang mendirikan majalah Tong Tong, media yang menjadi penghubung bagi komunitas Blijvers dan orang Indo-Belanda yang terpaksa meninggalkan tanah air mereka.

Melalui tulisan-tulisannya, ia mencoba mempertahankan budaya dan bahasa yang mereka bawa dari Hindia Belanda.

Mereka semua adalah orang-orang yang terperangkap dalam sejarah. Mereka yang tak benar-benar Belanda, tetapi juga tak bisa lagi menjadi bagian dari Indonesia.

***

Peluit wasit berbunyi. Maarten Paes menarik napas dalam. Ia mengenakan seragam merah-putih, warna yang pernah melekat dalam ingatan neneknya. Bagi sebagian orang, ini hanya sepak bola. Tetapi bagi Maarten, ini adalah sesuatu yang lebih besar.

Ini adalah tentang seorang nenek yang kehilangan rumahnya, tetapi tak pernah berhenti mencintainya. Ini adalah tentang mereka yang dipaksa pergi, tetapi tak pernah benar-benar bisa melupakan.

Bola datang, refleksnya bekerja. Ia melompat, menepisnya. Stadion bergemuruh.

Di suatu tempat, dalam sejarah yang tak pernah benar-benar berlalu, mungkin para Blijvers akhirnya merasa mereka kembali.

Di antara penonton yang mendatangi stadion, dia seakan melihat neneknya, Nel, di sana. Tiba-tiba, matanya berair.