Mengapa Siswa yang Nyaris Gagal Saat Sekolah, Malah Melenting?


Lelaki itu berdiri di sebuah forum bisnis, memaparkan visi dan arah perusahaan rintisannya. Saya yang duduk di barisan belakang merasa mengenali logat khasnya. Ada sesuatu dalam cara ia berbicara yang menggugah kenangan lama. Saya pun mendekat. Dugaan saya benar: dia adalah La Bolo, kawan sekolah di Pulau Buton.

Namun lelaki di panggung itu jauh berbeda dari sosok yang terekam dalam ingatan. La Bolo yang saya kenal adalah siswa nakal, lebih sering datang terlambat daripada tepat waktu, lebih banyak diam daripada menjawab soal. Ia bukan murid yang dicari guru, dan tak pernah masuk daftar harapan. Sekolah mencatatnya sebagai nyaris gagal.

Kini ia seorang CEO. Kini ia menyerap perhatian. Tapi bukan itu yang membuat saya tertegun. Yang mengejutkan adalah kenyataan bahwa dulu, ia tenggelam di balik nama-nama besar—anak-anak yang duduk rapi, nilai rapornya cemerlang, dan senantiasa mendapat tempat di hati guru.

Maka saya pun bertanya: apa sebenarnya yang disebut kecerdasan? Apa yang sesungguhnya dihargai oleh sistem bernama sekolah? Dan mengapa sebagian yang dulu tampak biasa, kini berdiri paling depan?

John Dewey pernah menulis dengan tenang: "Education is not preparation for life; education is life itself." Tapi sekolah, barangkali karena terlalu sibuk mengejar target, kerap lupa. Ia menyederhanakan kehidupan menjadi angka, jadwal, dan ujian. Ia memberi nilai pada kepatuhan, bukan pada hasrat. Ia menghargai hafalan, bukan keraguan.

Dalam Barking Up the Wrong Tree, Eric Barker mengutip riset panjang Karen Arnold. Ia mengikuti 81 siswa terbaik—lulusan-lulusan teladan dengan nilai nyaris sempurna. Mereka masuk universitas unggulan, meraih IPK tinggi, hidupnya stabil. Tapi tak satu pun dari mereka menjadi nama besar. Tak ada yang mengguncang dunia, atau mengubah arah zamannya.

Mereka menjadi karyawan andal. Mereka bekerja baik. Tapi mereka tidak mencipta arah baru. Mereka tak menulis ulang peta, hanya berjalan mengikuti jalur yang telah ditentukan.

Ironinya, sebagian dari mereka kini bekerja di bawah komando orang-orang yang dulu paling sering ditegur guru—siswa yang pulpen dan pikirannya sama-sama patah, yang nilainya merah, yang diminta berdiri di depan kelas karena lupa membawa buku.

Mereka mungkin menjadi Kepala Dinas, bahkan Kepala Bappeda. Tapi di atas meja kerja mereka kini ada tanda tangan Bupati—seseorang yang dulu disebut “pengganggu pelajaran”, yang tak pernah selesai membaca satu paragraf pun, tapi kini merumuskan arah kebijakan.

Yang dulu tak naik kelas, kini memimpin sidang pleno. Yang dulu dianggap tak tahu arah, kini memegang kompas.

Karen Arnold melihat satu benang merah: para lulusan terbaik itu selalu pragmatis. Mereka mengikuti aturan, menyelesaikan tugas, dan berpegang pada rumus yang ditentukan. Mereka lebih menghargai nilai A daripada pemahaman sejati. Mereka adalah murid yang sempurna, tapi bukan pejalan jauh.

Padahal hidup tidak bergantung pada kecepatan menjawab soal. Hidup lebih sering datang sebagai teka-teki tanpa kunci jawaban. Ia menuntut keberanian untuk salah, untuk gagal, lalu bangkit kembali. Dan untuk itu, kita butuh lebih dari sekadar rapor yang rapi.

Sekolah memang punya aturan. Tapi kehidupan tak berjalan sebagaimana aturan di sekolah. Kehidupan tak memakai penghapus. Ia menyimpan luka, dan memberi ruang kepada mereka yang bisa menumbuhkan sesuatu dari luka itu. Dan sering kali, mereka yang paling jeli mengubah luka menjadi jalan adalah mereka yang tak muat dalam format ujian.

Saya kembali memikirkan La Bolo. Ia tak menghafal pelajaran dengan baik. Tapi ia hafal arah angin. Ia tahu kapan harus menepi, dan kapan harus melaju. Ia mungkin tak bisa menjelaskan teori-teori ekonomi, tapi ia tahu bagaimana memimpin satu tim agar bergerak ke arah yang sama.

Dalam risetnya, Karen Arnold juga menyebut nama-nama besar yang dianggap gagal oleh sekolah, tapi kemudian tercatat dalam sejarah. Ada Winston Churchill, yang pernah diabaikan guru-gurunya, namun kemudian memimpin Inggris melewati masa paling gelap. 

Ada pula Thomas Edison, yang dikeluarkan dari sekolah karena dianggap tak mampu belajar, lalu belajar di rumah bersama ibunya, dan menjadi penemu terbesar di zamannya.

Hari itu, saya melihat seorang kawan lama yang dulu diabaikan, kini menyita perhatian. Hari itu pula saya belajar lagi sesuatu yang tak pernah diajarkan sekolah: bahwa setiap anak berjalan dengan jam biologisnya sendiri. 

Bahwa tidak semua bintang bersinar di usia remaja. Dan bahwa kadang-kadang, anak yang duduk di sudut kelas itu bukan malas—hanya belum diberi ruang untuk menyala.

Karena barangkali, sebagaimana puisi dan kehidupan: yang paling berharga sering kali tak dinilai.

Saya teringat sebuah adegan dalam film Mulan buatan Disney. Ketika Fa Mulan bersedih di tepi sungai karena merasa gagal jadi apa pun yang diharapkan. Ayahnya mendekat, memetik bunga yang hampir mekar, lalu berkata pelan: “The flower that blooms in adversity is the most rare and beautiful of all.”

Ada banyak bunga di sekitar kita.