Negosiasi dan Kesunyian: Duel Donald Trump versus Xi Jinping
Di sebuah pagi di Oval Office, Donald Trump duduk sendirian. Tangannya menopang dagu. Di sampingnya tergeletak buku tua yang pernah membuatnya dikenal: The Art of The Deal. Buku itu bukan sekadar kenangan masa lalu. Ia adalah cermin pikirannya — cara melihat dunia sebagai medan transaksi.
Hidup, baginya, adalah negosiasi tanpa akhir. Dunia harus diperlakukan seperti pasar properti: keras, licin, penuh gertakan, penuh perhitungan laba.
Jauh di seberang Pasifik, di balik tembok batu Zhongnanhai yang dingin dan kokoh, Xi Jinping membaca buku yang jauh lebih purba: The Art of War karya Sun Tzu. Buku itu bukan tentang berdagang, bukan tentang berunding di meja makan malam, tetapi tentang bagaimana memenangkan perang tanpa pertempuran.
Dunia, bagi Sun Tzu, bukan arena pamer kekuatan, melainkan ruang kesabaran dan ilusi.
Trump tumbuh dalam riuh rendah New York. Dalam bisnis properti, ia belajar satu hal sederhana: tawar menawar adalah seni menggertak. Maka ketika memasuki panggung geopolitik, ia membawa naluri jalanan itu.
Ia naikkan tarif impor, ia ancam keluar dari perjanjian internasional, ia buat panggung besar untuk menekan lawan-lawannya. Baginya, dunia adalah ruang penuh spotlight. Ia tampil seperti gladiator: bersuara keras, memancing perhatian, lalu menghantam lawan ketika lengah.
Sebaliknya, Xi tumbuh dalam bayang-bayang Partai Komunis yang dingin dan penuh teka-teki. Ia tidak membangun kekuatan dalam sorotan lampu, tetapi dalam kelam lorong kekuasaan.
Di bawah pemerintahannya, Tiongkok tak lagi sekadar negeri pabrik dunia. Ia memperluas cengkeramannya lewat infrastruktur, teknologi, dan utang. Negara-negara kecil dirangkul bukan dengan peluru, tetapi dengan jalan tol dan pelabuhan.
Trump percaya dunia bisa ditaklukkan dengan kesepakatan cepat. Xi percaya dunia hanya bisa ditundukkan dengan kesabaran panjang. Trump meletupkan emosi. Xi merawat diam. Trump memaksa lawan bicara duduk dalam negosiasi. Xi membiarkan lawan bicara datang sendiri ke pelukannya.
Sun Tzu menulis: “Puncak tertinggi dari strategi adalah menaklukkan musuh tanpa bertempur.” Sedangkan Trump menulis: “Deal tercipta ketika kedua pihak sama-sama merasa telah mengakali pihak lain.”
Dunia hari ini berjalan di antara dua jalan itu. Satu jalan keras dan terbuka, seperti jalanan New York yang hiruk pikuk. Satu jalan lain hening dan licin, seperti gang sempit di Beijing yang penuh teka-teki.
Namun waktu, seperti selalu, punya cara sendiri untuk menguji dua jalan itu.
Trump masih duduk di Gedung Putih. Ia masih memimpin Amerika Serikat seperti layaknya seorang juragan besar di pasar dunia: gaduh, penuh kejutan, dan tak ragu membalik meja jika keinginannya tak dipenuhi.
Dunia belum selesai dengan Trump — atau mungkin, dunia belum selesai dengan gaya kekuasaan yang serba frontal itu.
Di sisi lain, Xi Jinping masih berjalan perlahan di jalur sebaliknya. Ia memperluas pengaruh Tiongkok bukan dengan teriakan, tetapi dengan infrastruktur, teknologi, dan kehadiran senyap. Tapi dunia mulai mengenali pola geraknya.
Negara-negara mulai berhitung ulang: apakah utang dari Beijing akan jadi jalan keluar, atau justru jerat panjang yang menyakitkan.
Pertarungan ini belum sampai di ujung. Dunia kini seperti sebuah papan catur besar: Amerika bergerak cepat, Tiongkok bergerak dalam diam. Trump menciptakan badai di permukaan. Xi menyiapkan arus di kedalaman.
Bagaimana akhir dari benturan ini?
Mungkin bukan kemenangan yang dramatis. Bukan pula kekalahan yang terang-benderang. Sejarah jarang memberi pemenang tunggal. Dunia terlalu rumit untuk ditaklukkan hanya oleh satu strategi.
Trump mungkin akan terus menguasai berita-berita utama, selama masa jabatannya, mungkin lebih lama. Tapi dunia juga akan semakin lelah dengan cara-cara keras yang penuh kebisingan. Dalam jangka panjang, dunia selalu kembali mencari stabilitas.
Xi mungkin tak akan pernah jadi pemenang yang dielu-elukan. Tapi ia sedang membangun sesuatu yang lebih penting dari citra: jaringan pengaruh, simpul kekuasaan, dan kesabaran jangka panjang.
Akhirnya, pertarungan dua jalan ini bukan tentang siapa yang paling kuat di depan kamera. Tapi siapa yang paling lama bertahan di balik layar.
Mungkin, seperti kata Sun Tzu: "Jika kau menunggu cukup lama di tepi sungai, kau akan melihat mayat musuhmu mengalir lewat."
Atau seperti bisikan dari Trump sendiri di sela kesombongannya: bahwa deal terbesar dalam hidup bukan selalu tentang menang, tetapi tentang bertahan cukup lama, sampai semua lawan kehabisan tenaga.
Tapi di antara dua jalan besar itu — jalan New York yang penuh tekanan, dan jalan Beijing yang tenang tapi bisa menghanyutkan — ada satu pertanyaan yang mendesak bagi kita di Indonesia: ke mana arah mendayung kita?
Apakah kita akan tergoda ikut berlomba dalam riuh persaingan, meniru cara-cara keras yang serba instan? Ataukah kita akan larut terlalu dalam dalam pesona kekuasaan diam-diam, yang perlahan membelit dan menyandera?
Sejarah Indonesia, sesungguhnya, sudah mewariskan jawabannya.
Bung Hatta dan para pendiri bangsa pernah mengingatkan bahwa di tengah pusaran geopolitik dunia, Indonesia tidak dilahirkan untuk menjadi penumpang di kapal besar manapun.
Kita lahir untuk mendayung — tidak di satu sisi, tidak di sisi lain — tetapi di antara dua karang. Karena laut ini luas. Dan arusnya tidak pernah tunggal.
Dunia boleh gaduh atau diam. Tapi Indonesia, jika setia pada peta jalannya sendiri, tahu kapan harus bersuara, dan tahu kapan harus berlayar dalam kesenyapan. Mendayung di antara dua karang. Seperti yang telah diajarkan sejarah, lalu menjemput masa depan.
Namun, bagaimana mungkin kita mendayung, saat kita tak punya tenaga untuk bergerak, tak punya kekuatan kapal sebab digerogoti tikus korupsi, kolusi, dan inkompetensi. Kita tidak punya pemimpin sekuat Trump dan Xi. Yang kita punya adalah ... (ah, sudahlah).